Seorang gadis dengan mata sayup memandangi dirinya didepan cermin,bayangan dirinya mengenakan seragam sekolah nya yang baru terpantul jelas didepan cermin itu. Lama ia termenung melihat sosok dirinya yang tampak seperti memikirkan sesuatu. Menatap cermin, menunduk, menatap lagi lalu menunduk kegiatan itu terus ia lakukan berulang ulang.
“Aku benci indonesia” katanya lirih sambil melihat pantulan dirinya didepan cermin. Lalu ia menunduk lagi, air matanya perlahan membasahi pipinya.
“Jane, ayo berangkat!” teriakan seorang wanita dari balik pintu kamarnya. Jane, itulah nama yang diberikan kepadanya. Mungkin dalam bahasa inggris terdengar keren, tapi tidak dengan nama gadis itu, “J A N E” seperti yang teritulis seperti itu pula yang diucapkan.
“Jane, ayo!” teriakan wanita itu sudah lebih kuat dari sebelumnya. Namun gadis itu hanya diam, tidak menyahuti panggilan lalu keluar.
“Jane ini adalah sekolah barumu, ibu harap kamu bisa tahan ya” kata wanita itu dengan lembut. Namun jane hanya berlalu meninggalkan wanita itu tanpa menoleh sedikitpun.
***
Sebuah bangunan asing tepat berada didepanku, lingkungan asing, suasana asing, semua terasa asing bagiku.Aku baru pindah ke medan beberapa bulan yang lalu. Beberapa langkah aku memasuki sekolah itu semua mata sudah tertuju padaku. Mata yang melihat itu seakan berbicara untuk menyuruhku keluar. Aku hanya menunduk, dan berlari. Dan akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita, aku tidak berani menatapnya.
“kamu murid baru kan? Katanya pelan, aku hanya mengangguk pelan. “Ayo ibu akan tunjukan ruang administrasinya” katanya sambil memegang tanganku.
Semua berkas sudah selesai, “aku hanya perlu melakukan sedikit perkenalan lalu kembali pulang”, itu yang terus kukatakan dalam hati. Lorong demi lorong ku lewati, hingga sampai pada kelas yang kutuju. Kulihat wanita yang tak asing menerangkan dengan lembut ke siswanya, lalu tanpa sadar ia menoleh kepadaku, dia terdiam sejenak saat mata kami saling bertatapan.
Semua orang sama, tidak ada bedanya” kataku dalam hati. Lalu wanita itu tersenyum dan menyuruhku masuk. Hal yang biasa dilakukan seorang guru ketika memiliki murid baru seperti itulah yang kurasakan, Semuanya terasa memuakan. langkah demi langkah kulalui untuk memasuki kelas itu, bahkan hawa nya saja terasa dingin bagiku, Aku terus menunduk sampai masuk didalam.
“Ayo perkenalkan dirimu kepada teman temanmu” kata guru tersebut. Perlahan kuangkat kepalaku, memberanikan diri melihat semuanya. Reaksi yang hampir puluhan kali kurasakan saat mereka melihatku, mereka hanya diam. Pura pura tersenyum, berbisik bisik. Ntahlah aku gak tau apa yang mereka pikirkan tentangku.
“Namaku jane, aku murid baru dari sini” belum sempat kulanjutkan perkenalanku muncul reaksi spontan dari beberapa murid. ”Orangnya mana bu kok ga keliatan?”, “Cuma keliatan giginya”, “rambutnya bisa iklan indomie kayaknya hahaha” lalu diringi tawa oleh yang lainnya. Aku hanya tertawa sinis mendengar pertanyaan mereka yang bagi mereka hanya bahan becandaan. Lama aku terdiam menunggu mereka berhenti menertawaiku. Tapi itu tak kunjung usai, mereka terus tertawa bahkan terasa seperti dibuat buat.
“Apakah aku berbeda?” tanyaku dengan suara yang yang sedari tadi kutahan.
“Ya, aku berbeda, aku sangat bereda dari kalian. Kulitku tidak semulus kalian, kulitku sangat hitam, rambutku tidak secantik kalian, rambutku keriting gimbal. Aku berasal dari provinsi ujung indonesia, provinsi yang sangat jauh berbeda dari kota kalian ini. Lantas apakah perbedaan ku pantas menjadi bahan tertawaan kalian? Hanya karena aku berbeda, bukan berarti aku harus mendapatkan perlakuan yang berbeda. Cukup!!! Aku sudah cukup kehilangan ayahku karena perbedaan ini. Dia dibunuh dengan sadis hanya karena karena dia memiliki kulit yang hitam, rambut gimbal dia menjadi sasaran amarah massa yang menuduh dia pencuri. Inikah Indonesia? Hanya karena kalian berbeda kalian diperlakukan tidak layak. Inikah indonesia? Hanya karena kalian berbeda kalian menjadi bahan tontonan. Dan inikah Indonesia? hanya karena kalian berbeda kalian tidak punya hak untuk bicara. Dan jika itukah indonesia, maka aku akan menjadi orang paling depan yang akan membencinya” .Semua yang kutahan dari tadi keluar bagaikan air yang mengalir, semua perasaan ejekan yang kudapatkan selama ini bisa kuungkapkan. Bahkan air mata yang kutahan juga ikut mengalir.
Aku melihat sekeliling mencoba melihat bagaimana ekspresi mereka, mereka hanya terdiam. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari meninggalkan kelas itu.
Dirumah terasa sepi sejak ayahku meninggal, ibuku membanting tulang setiap hari untuk mencukupi keluarga kami. Berjualan dari pagi hingga malam, seperti tiada letihnya ia berjuang untuk hidup di ibu kota indonesia ini.berulang kali kukatakan agar kembali ke kampung halaman tetapi ibu tetap tidak mau. Dan inilah kami sekarang, bahkan untuk bernafas saja terasa sesak.
***
Matahari pagi masuk melalui celah celah atap rumahku, bagaikan sentuhan yang lembut angin pun ikut membangunkan ku dari tidur. Hari ini adalah 100 hari aku telah resmi menjadi murid disekolah baruku. aku sendiri pun tidak menyangka bisa melewatinya sampai sejauh ini. Teman? Tidak ada yang berani mendekatiku, setelah semua yang kukatakan pada hari perkenalan. Dan yang kulakukan hanya duduk di pojok dari awal hingga akhir.
“Jane bangun, sarapan udah ibu letakkan diatas meja. Ibu pergi dulu ya. Jangan lupa dimakan”, kata ibuku membangunkan lamunanku. “iya bu” jawabku singkat.
Kulahap semua makanan yang telah beliau siapkan, aku masih bersyukur aku masih memiliki seorang ibu. Kulangkahkan kakiku menuju gerbang sekolahku, kuhirup nafas yang panjang sambil berharap “semua pasti akan berlalu”.
Bel sekolah pun berbunyi menunjukan kelas sudah dimulai. Kuperhatikan sekeliling kelasku,.
“mereka tampak bahagia, bercanda satu sama lain, saling bercerita, rasanya sangat menyenangkan. Ah aku rindu kampung halamanku, setidaknya disana aku lebih dihargai. Aku rindu teman temanku, disana aku lebih disayangi” kataku dalam hati. Lamunan ku pun memudar saat guru didepanku mengumumkan sesuatu yang membuatku bergetar,
“Anak anak, kita akan melakukan study tour. Untuk melihat betapa indahnya negara kita, untuk melihat hal yang belum pernah kalian lihat, bagaimana indonesia kita, dan seberapa menakjubkannya negri kita”. Hal yang membuatku bergetar bukan tentang study tournya melainkan kata kata yang sangat muak untuk kudengar, hal yang selalu dikatakan ayahku tentang indonesia.mendengarnya saja sudah membuatku sangat kesal apalagi harus melihat nya. Untuk pertama kalinya aku memberanikan diri untuk bebicara didepan seluruh kelas.
“Maaf bu, tapi saya tidak bisa ikut untuk acara study tur kelas” kataku tegas. Seluruh kelas memandangiku dengan tatapan yang tak dapat ku. Ibu itu hanya terdiam lalu tersenyum, senyum yang tidak dapat kuartikan dan berkata “temui ibu di ruang guru nanti ya jane”. Dan yang kulakukan hanya menunduk dan mengiyakan perkataan beliau.
Bel sekolah pertanda berakhirnya pelajaran pun berbunyi,para siswa yang lain dengan cepat pulang kerumahnya masing masing, namun apa yang kulakukan? Aku harus menunda kepulanganku dan bertemu guru ku di ruang guru.
Kulangkahkan kakiku masuk kedalam ruangan tersebut, jujur aku sendiri juga takut berada didalam. Apakah aku akan dimarahi? Apakah aku akan dihukum? Kenapa aku harus masuk kesini? Apakah perkataanku yang hanya beberapa kata membuat beliau sangat marah? Berbagai pertanyaan muncul dibenakku.
“ayo duduk jane” perkataan ibu itu sukses membuatku terkejut. Aku langsung duduk tanpa menjawab perkataan beliau. “Kenapa jane tidak ingin ikut ke acara study tur sekolah?” tanya beliau seolah tak tahu. Aku hanya melihat nya dan tersenyum tidak percaya.
“bukankah ibu sudah tau alasannya, dan bagaimana saya bisa pergi dengan teman sekelas yang membenci saya bu?” ibu itu hanya tersenyum menanggapi pernyataan ku.
“ apa yang kamu lihat belum tentu sama dengan apa yang kamu rasakan, dan apa yang kamu rasakan belum tentu sama dengan yang kamu lihat. kamu akan melihat bagaimana indonesia ini, dan bagaimana bersatunya kita jane tanpa memandang bulu” balas beliau.
“kenapa kita harus jauh jauh study tur untuk melihat itu semua bu? Disini saja bisa ibu lihat bagaimana berbedanya perlakuan yang diterima setiap orang” jawabku ketus. Kulihat ibu itu tidak henti hentinya berusaha untuk membujukku tapi itu tidak akan merubah pendirianku.
Hingga akhirnya beliau berkata “ ini adalah kali terakhir ibu bisa membujukmu jane, ibu dipindah tugaskan mengajar jadi mungkin setelah study tur ini kita tidak akan bisa bertemu. Ibu hanya berharap kamu bisa ikut study tur ini dan menjalaninya bersama sama. Tapi ibu berjanji satu hal kepadamu jane setelah kembali dari study tur ini kamu akan sendiri lagi, kamu tidak akan berdiam diri seharian di pojok tempat dudukmu lagi, kamu tidak akan menahan beban sendirian lagi, dan kamu akan mencintai indonesia.”
Empat perkataan terakhir membuat tubuhku bergetar, namun yang membuat nyaliku menciut adalahsatu satunya orang yang peduli kepadaku akan pergi, aku ga peduli dengan janji yang diberikan beliau, aku ga peduli dengan memiliki teman yang kutau adalah aku harus membalas kebaikannya dengan ikut acara ini. Kuanggukan kepala ku pelan menandakan aku menyetujui ajakannya, dan dapat kulihat senyum yang sangat lebar dan perasaan yang lega dari beliau. Akupun izin pamit kepada beliau untuk pulang sekaligus memberitahu ibuku tentang kegiatan ini.
***
“Jane apa kamu yakin kamu akan pergi ?” tanya ibuku sambil menusun perlengkapan study tur ku kedalam tas.
“hmmm” jawabku pelan. Ibu melihat ku sejenak dan membuatku berkata “bu aku gak papa kok, aku memang ga punya teman tapi disana ada seorang guru yang kebaikannya harus kubalas sebelum dia dipindah tugaskan” jawabku mencoba menenangkan ibuku. Ibuku tersenyum mendengar jawabanku
angin pagi masuk melalui celah celah kamarku, rintikan hujan yang samar samar mulai menghilang seakan menyatu untuk mengajakku enggan bangun dari tempat tidur. “aaahhhh hari ini waktunya” kataku sambil merenggangkan seluruh badanku. Perasaanku bercambur aduk untuk berangkat kesana.
Kulangkahkan kakiku pelan memasuki halaman, sudah berderet bus bus yang terparkir disana untuk mengantar kami. Berbagai siswa dan siswi juga sudah mulai berkumpul disana.
“Janeeee!!! “ teriakan seseorang yang sudah tidak asing lagi kudengar.
“Ayooo naik, kita berangkat!!!” teriaknya lagi yang jauh lebih keras.
Bus melaju dengan kecepatan tak menentu, semua murid terlihat penasaran kemanakah mereka akan dibawa. Berbagai kegiatan mereka lakukan ada yang bercanda ria, ada yang tertidur, ada yang menyanyi, dan lain lain. Sementara aku? Aku hanya melihat keluar jendela menikmati pemandangan yang ada. Makin lama udara disekitar menjadi sangat dingin, kendaraan yang tadinya ramai berlalu lalang menjadi sepi, rumah rumah yang tadinya selalu keliatan menjadi sangat sepi, jalanan yang tadinya lurus menjadi penuh tikungan tajam. Semua terasa asing bagiku, semua anak sibuk memakai jaket mereka. Dan aku sama sekali tidak mengetahui kalau cuacanya akan menjadi dingin seperti ini itulah sebabnya aku tidak membawa jaket.
“Jane pakai jaketmu” tegur guruku.
“Saya tidak bawa bu, saya tidak merasa dingin kok bu” balasku pelan. Sebuah tangan terulur dengan jaket diatasnya.
“Ini jaketku, aku bawa dua. Kamu bisa pakai jane” katanya sambil tersenyum menunggu aku menerima jaket darinya. Aku gak tau harus bereaksi seperti apa, ini adalah pertama kalinya seseorang berbicara kepadaku selain guruku.
“gak usah makasih ken, aku ga kedinginan kok” kataku mencoba menolak sehalus mungkin.
“yaudah deh, tapi a-duuuuhhh tanganku keram pegangi bentar jaketnya ne” sambil merintih kesakitan. Tanpa pikir panjang kuambil jaket dari tangannya agar keramnya bisa hilang.
“nah gitu dong, dipakai ya” katanya sambil tertawa. Aku hanya tersenyum geli melihat tingkahnya begitupun dengan guruku.
“ini pertama kalinya aku melihat kamu tersenyum jane, apakah kamu tau secantik cantiknya seseorang jika dia tidak pernah tersenyum dia akan menjadi buruk rupa” katanya jahil. “Tapi kamu kok bisa tau namaku jane? jangan bilang kamu hafal semua nama kita satu kelas” sambil menunjukan raut wajah penasaran. “iyaps, selama ini aku memperhatikan kalian” kataku bersamaan dengan berhentinya bus.
Aku terdiam melihat pemandangan yang ada didepanku, pemandangan yang biasanya dapat kulihat di kampung halamanku dapat kurasakan disini.angin yang silih berganti menerpa wajahku, pepohonan yang menjulang keatas membuatku harus melihat keatas untuk dapat melihat puncaknya, gunung yang menjulang tinggi terasa sangat dekat didepan kami. Sangat indah, ciptaan tuhan memang sangat indah. Tapi keindahan yang kulihat itu berbanding terbalik dengan yang kurasakan, tenda tenda pengungsian terpasang disepanjang jalan, ratusan orang yang ekspresinya dapat kumengerti, puluhan anak anak yang seharusnya bersekolah duduk termenung menanti datangnya makanan, obat obatan serta pakaian yang apa adanya hanya dapat mereka gunakan.
“Ada apa ini? Dimana ini? Apa yang terjadi?” tanyaku bingung.
“Selamat datang di Sinabung jane, kota yang sangat indah berubah menjadi tempatnya debu vulkanik dan magma. Ratusan rumah harus mereka tinggalkan dan ribuan orang kehilangan harta benda mereka. Apa yang kamu lihat belum tentu sama dengan apa yang kamu rasakan” aku hanya terdiam mendengar ucapan beliau, darah dan jantungku berdegup kencang menyaksikan segalanya.
“anak anak disini kita akan membantu para pengungsi, bantulah apa yang bisa kalian bantu, lakukanlah apa yang bisa kalian lakukan” kata beliau memberi instruktur.
“ayo jane kita bantu memasak “ kata seseorang siswi dikelasku. “e-eeeh iya ra” balasku terbata bata.
“kamu tau namaku juga ya ne” yang membuatku merasa seperti deja vu.”eeh iya ra, aku tau nama kalian semua satu kelas kok” kataku gugup. “hahha aku tau ne, tadi kenta cerita” mataku membulat mendengar ucapannya.
Semua anak sibuk membantu satu sama lain, begitu pula aku dengan Lara.Kami membantu memasak didapur. Kami semua melakukan apa yang bisa kami lakukan, berusaha sebaik mungkin yang dapat kami berikan untuk menolong sesama. Makanan sudah jadi semua makan dengan lahap hingga akhirnya seorang anak laki laki datang menghampiriku, kulitnya sama hitamnya denganku dan rambutnya sama gimbalnya denganku.
Dengan membawa piring nya yang sudah selesai makan dia mendekatiku dan berkata “kakak makasih ya, hari ini kami bisa makan dengan baik karena bantuan kakak kakak semua, biasanya aku makan apa adanya kak” katanya polos.
”iyaa dek, sama sama” kataku sambil memandangi seluruh tubuhnya, pakaian yang ntah sudah berapa hari tidak diganti, rambut yang ntah sudah berapa hari tidak disisir, membuat hatiku sakit.
”dek dimana mamaknya, sini biar kakak gantiin bajunya” kataku sambil mengelus pipinya yang mungil.
Dia menggenggam tanganku dan membawa ku keluar dari tenda. “ikuti aku kak, biar kutunjukkan kak dimana bapak sama mamak” aku mengikuti genggaman tangannya hingga sampai keluar tenda dan ia menunjuk kearah gunung.
“mamak sama bapak ada disana kak, waktu aku sekolah mamak sama bapak lagi diladang, terus gunungnya meledak, aku dibawa kesini sama guruku kak.” Katanya sambil menunjuk kearah gunung. Air mataku tidak terbendung lagi, mereka seperti jatuh tanpa perintah dariku, dengan cepat kuhapus air mataku dari pipiku, tapi dia terlanjur melihatnya dan berkata
“Gak papa kok kak, mamak sama bapakku udah sama tuhan sekarang, aku gak boleh sedih kalau mereka udah sama orang yang menciptakan segalanya, mungkin aku kehilangan mamak sama bapakku kak, tapi setelah beberapa tahun lagi kotaku ini akan menjadi tempat yang subur jadi orang orang bisa keladang lagi. Aku lahirnya disini, mamak sama bapakku juga dipanggil tuhan disini, jadi aku harus merawat apa yang ditinggali kak, aku harus merawat negeriku” kata kata yang paling kubenci membuatku sangat menangis, hatiku sesak mendengar ucapan anak kecil ini. Sementara aku hanya terus mengeluh, terus membandingkan diri dengan yang lainnya
”oh iya kak, rambut sama kulit kita sama kak. Kakak pasti senang bisa berbeda dari teman sekelas kakak yang lain, sama aku juga senang kak. Karena perbedaan itulah yang menjadi ciri khasku kak, apa yang kupunya gak dimiliki yang lainnya. begitulah kata mamakku kak”. Bak disambar petir mendengar ucapan anak laki laki tersebut, aku merasa kecil dihadapannya. Meskipun badannya saat ini kecil tapi dia mempunyai hati yang besar berbeda denganku. Hari itu kuhabiskan waktu ngobrol dengan anak itu, saling menguatkan, saling bercanda ria hingga tanpa terasa waktu berlalu dengan cepat.
Malam telah tiba kami pun memasang tenda lumayan jauh dari pengungsian, kami tidak ingin mengganggu mereka karena aktivitas malam kami. api unggun telah menyala semua anak berkumpul ditengah. Sambil bernyanyi dan menari semua anak ikut riang termasuk aku. Aku benar benar menikmati malam itu, aku sudah mulai berbicara dengan anak lain dan salah satu teman sekelasku mengusulkan ide untuk bermain games “Truth Or Dare” games jujur atau berani, dimana jika giliran yang kena dapat memilih hukuman jujur atau berani. Semua menyetujui gamesnya, berbagai kejujuran sudah kami dengarkan dan berbagai tantangan sudah kami lihat.
Tibalah giliran kenta yang maju, orang yang memberikan jaketnya kepadaku. Dia lebih memilih untuk jujur. semua anak menjadi diam saat dia mulai berbicara,
“ aku tidak pernah menyangka, sebuah kata dapat membunuh seseorang, dan aku juga tidak pernah menyangka kalau candaanku sangat menyakitimu jane. Aku benar benar meminta maaf, kami sekelas meminta maaf. apakah kamu tau saat kamu pergi setelah hari perkenalan itu, kelas menjadi ricuh, semua menuduh satu sama lain. Air mata yang ditahan terjatuh saat kamu pergi. Awalnya kami hanya ingin membuat perkenalan mu mejadi lebih hidup jane, tapi kami gak tau kalau itu akan sangat menyakitimu. Kami minta maaf”.
Malam ini dilalui dengan penuh tawa dan tangis, sepertinya sekarang aku sudah mulai mengerti maksud perkataan beliau “Apa yang kamu lihat belum tentu sama dengan apa yang kamu rasakan” Selama ini aku melihat teman sekelasku mendiamiku sehingga aku merasakan bahwa mereka membenciku tapi malah sebaliknya mereka diam karena merasa bersalah”. Semua yang kupikirkan salah termasuk dengan indonesia, perbedaan, dan sebagainya karena kami adalah satu. Satu tanah air, satu jiwa dan satu bahasa.
#RevitalisasiPenghargaanTerhadapPerbedaan
0 komentar:
Posting Komentar